Tuesday, March 21, 2017

yang lalu, perjumpaan dengan stan.

Tak pernah terpikir kalau saat itu jadi PNS atau kerja di kemenkeu, karena cita-cita saya jauh dari itu mungkin ahli geologi atau financial planner kala SMA. Masa SMA bisa dibilang masa nano-nano dimana kesenangan itu tidak berasal dari hal-hal yang mewah, kalau biasanya jaman SMA hobinya nonton di bioskop lalu makan saya dan teman-teman hobi main bulutangkis, tapi sampai sekarang ga pernah jago. Nyaris kenakalan-kenakalan Di SMA tidak kami perbuat kecuali sekali tidak ikut upacara dan ketahuan. Namun disini saya pun bimbang karena pada akhirnya harus menentukan jurusan atau kuliah dimana kah saya nanti. Saya mungkin telah berusaha mati-matian belajar tapi tidak efektif dan tertekan, saya gagal dimana-mana, impian saya, orang tua saya sirna, saya selalu ingat kata-kata orang tua saya supaya harus masuk perguruan tinggi negeri karena biaya lebih murah. Sejauh itu berapakah uang yang saya habiskan untuk bimbel disana dan disini selama tiga tahun, biaya pendaftaran disana dan disini mungkin hampir dua juta, disaat orang tua saya pun pensiun dini dari karyawan swasta, saya sedang punya ambisi namun ambisi saya itu pupus dengan tekanan-tekanan yang pada akhirnya saya harus menyerah dengan itu. Lalu ada STAN di sekitar bulan Juli yang akan melaksanakan Ujian Masuk, saya ikut, saya ingat mengapa saya bisa lulus, itu karena faktor nothing to lose, dan dalam satu bulan terakhir saya belajar bahasa Inggris secara intens, kali ini Saya menang. Saya menang karena Kelimpahan Tuhan, saya sangat bersyukur. Ternyata saya tidak perlu membayar uang pangkal ke perguruan tinggi manapun, saya waktu itu sangat bersyukur karena mama selalu mensupport untuk selalu tidak tegang dalam ujian, dan papa yang mengantarkan saya pendaftaran dan ujian naik motor  bolak-balik bekasi-bintaro.

Akhirnya tibalah saya menjadi mahasiswa STAN, tak pernah terpikir apalagi karena salah seorang teman sepertinya sangat mempersiapkan ujian ini, sehingga saya jadi nothing to lose juga karenanya, tanpa tekanan.


Sunday, March 5, 2017

IBL 2017 hanya penikmat dari layar kaca dan streaming

Tahun 2017 hobi saya menonton basket berlanjut, karena yang baru saya ikuti ini adalah liga basket professional Indonesia yaitu IBL, kebetulan juga saya seringkali update di mainbasket.com atau link ibl. Mengejutkan untuk tahun ini karena ada aturan mengenai penggunaan pemain asing yang dimana dua pemain boleh direkrut masing-masiing tim, yang satu tingginya tidak boleh lebih dari 185cm. Kebijakan ini mematikan perkembangan pemain lokal karena minimnya jam terbang, namun pengalaman pemain asing bisa ditularkan ke pemain lokal sedikitnya. Yang aneh lagi pemain naturalisasi dipersamakan dengan pemain asing, sungguh kejam, pada dasarnya mereka telah berkorban untuk mendapatkan WNI untuk dapat membela timnas atau main di liga nasional, namun keberadaan mereka malah kalah saing dengan hadirnya pemain asing yang lebih berkualitas. Yang sudah menjadi korban diantaranya brandon jawato, ebrahim eenguio lopez, anthony ray hargrove. Kebijakan ini memang membuat pemain asing pikir dua kali untuk menjadi WNI. Lalu ada masalah di draft pemain ada nya salary cap sebesar 3000 usd per bulan, sebenarnya pemain asing itu perlu dibatasi gajinya, tapi tidak serendah itu juga, walaupun sistem penggajian diberikan subsidi oleh provider kepada pihak klub namun apabila klub menyanggupi menambah gaji pemain maka, pemain berhak mendapatkan gaji yang layak, karena kualitas pemain tak lepas dari gaji yang diterimanya.
Lepas dari itu ada beberapa pemain asing yang menurut saya belum nyetel dengan permainan tim, mungkin karena over weight atau karena terlalu egois atau over confident. Contohnya pierre Henderson itu menurut sangat susah buat lari saja dan shootnya kurang bagus namun reboundnya sangat baik untuk tim sebesar aspac masih jauh dari harapan begitunya juga dengan mckinney dari cls. Pemain asing di tim kecil seperti pacific atau nsh justru membantu tim ini menjadi salah satu tim kandidat playoff,dari segi pemerataan sistem berjalan dengan bai, namun kalau pemain asing itu foul out, cedera, kehabisan tenaga maka celaka lah tim kecil itu karena ketergantungan pemain asing. Menjadi perhatian tersendiri bagaimana sistem ini akan terus dipakai atau perlu direvisi. Idealnya satu tim cukup menggunakan satu pemain asing dan bebas menggunakan pemain naturalisasi, dua pemain asing malah membunuh kehadiran pemain lokal, jam terbang menjadi sedikit, misalkan ada satu pun pasti permainan akan selalu terkunci pada satu pemain asing, apalagi dua dengan satu bigman dan satu small, yang lain hanya jadi pelengkap saja, mau lihat buktinya, silahkan lihat pertandingan all star ibl 2017 berapa angka yang dicetak pemain asing dan berapa oleh pemain lokal. Itu saja sudah all star lokal apalagi pemain non allstar lokal. Makin tenggelam. Bagaimana pun sistem pemain asing yang tepat harus digodok, mungkin boleh dua pemain asing tapi harusnya satu saja yang di court, secara bergantian masuknya sehingga ada perang taktik antar pelatih yang membuat permainan jadi seru.